Al-qur'an

Senin, 19 Desember 2011

ATTA’ABBUD BITILAWATIL QUR’AN

OLEH ; Nurkholis asy'ari Lc. Al-hafidz
Interaksi denagn Al-qur,an adalah bagian dari ta’abbud  dan taqorrub kepada Allah SWT. Atta’abbud dengan al-qur’an meliputi at-tilawah,at-tadabbur,al-amal bihi wa iqomatu hududihi dan hifdhuhu fish-shudur.dalam kesempatan ini saya akan membahas salah satu dari ta’abbud dan interaksi dengan alqur’an yang saya sebutkan diatas yaitu “atta’abbud bitilawatil qur’an”.
Diantara bentuk dan bukti keimanan kita kepada al-qur’an adalah  membaca dan memperbanyak tilawah.  Para ulama salaf adalah contoh dari statemen ini, mereka menjadikan tilawah al-qur’an sebagai wirid harian dan  Quantum amal, karena mereka menyadari bahwa disetiap huruf dari alqur’an ada imbalan pahala dan keberkahan dari Allah swt. Karena yang dibaca adalah firman Allah, kalam pencipta seluuh alam,maka membacanya pun berbeda dengan membaca perkataan yang  lain, perbedaan antara pencipta dan makhluknya. Rasulullah saw bersabda
من قرأ حرفا من كتاب الله فله حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول (الم ) حرف ولكن ألف حرفا و لام حرف وميم حرف ( رواه الترميذي وقال حسن صحيح )   
“barang siapa membaca satu huruf dari kaitab Allah maka baginya kebaikan, dan satu kebaikan dilipat gandakan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan (الم ) satu huruf, tetapi (  ا ) satu huruf (ل ) huruf dan (م ) huruf.’” (HR. Attirmidzi. Beliau mengatakan hadis hasan sohih)
Orang yang membaca ( الم  ) saja akan mendapatkan pahala 30 kebaikan berdasarkan hadis diatas, maka bayangkan berapa banyak pahala yang akan didapat seseorang jika ia membaca lebih banyak lagi ? sungguh merupakan kerugian yang nyata jika menyia-nyiakan ibadah ini.
Ruhut-tasaabuq para  sahabat nabi dalam tilawah al-qur’an Nampak begitu kental sehingga  tidak mengherankan jika diantara mereka ada yang meminta izin kepada rasulullah agar diperbolehkan mengkhatamkan alqur’an setiap hari, walaupun kemudian rasulullah melarangnya.
Atta’abbut bitilawatil qur’an menuntut kita untuk at-ta-assy fit-ttilawal wal-ittiba’ bitilawati rasulillah saw ( mengikuti cara baca nabi ) sehingga kita mendapatkan pahala yang sempurna, pembaca al-qur’an  harus menyesuaikan tilawah dengan kaidah-kaidah membaca al-quran yang benar. Bacaan yang pernah dicontohkan oleh baginda rasulullah. Karena al-ashlu fil-ibadati alittiba’ lal ibtida’ ( asal ibadah itu mengikuti bukan merekayasa ), kaidah tersebut juga berlaku dalam tilawatul qur’an.  Cara membaca al-quran adalah tauqifi (wahyu dari Allah swt ) bukan ijtihad ulama atau gubahan orang arab, tapi cara membacanya sudah ditetapkan oleh Allah Swt yaitu “tartiil”. Allah berfirman, "
È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös? ÇÍÈ  
“Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”.
Membaca dengan tartil adalah bacaan yang memperhatikan kaidah-kaidah tajwid dan menjelaskan huruf-huruf dan tempat berhentinya.Para ulama sngan konsern menjaga keaslihan bacaan tersebut dengan talaqqi dan membuat kaidah-kaidah bacaan dan batasan-batasan tilawah dengan membuat buku tajwid. Diantara ulama tersebut adalah asy-sayikh imam al-jazri , beliau mengatakan dalam muqoddimahnya atau biasa disebut matan jazriyah :
Dan membaca al-qur’an dengan tajwid itu hukumnya wajib
Barang siapa membaca al-qur’an tidak memperhatikan hukum tajwid maka dia berdosa
Karena Allah menurunkan al-qur’an dengan tajwid
Dan dengannya (tajwid) itu pulalah al-qur’an sampai kepada kita
Membaca al-qur,an dengan tajwid menuntut para mukmin bersungguh-sungguh dalam berinteraksi dengan al-qur’an ,membimbing ummat untuk belajar al-qur’an  dan mencari guru yang akan mengoreksi bacaannya ,Guru yang minimal sudah pernah bertalaqqi (membenarkan bacaannya) kepada syaikh yang mempunyai sanad, sehingga bacaannya terbebas dari kesalahan-keslahan jaly.  Atau bahkan  kesalahan  yang khofiyy. Para qurra’ sepakat bahwa pembaca alqur’an harus terhindar dari kesalahan jali misalnya kesalahan pada makhroj huruf ,harokat dan bahkan sifat huruf.  Adapun kesalahan khofi ada yang masih member keringan bagi yang belum mengambil sanad. Contoh kesalahan khofi seperti kurang ghunnah , kurang sempurna panjang mad,kurang tebal-tipis dll.  
Belajar kepada guru disebut talaqqi. Ini adalah tradisi  dan budaya belajar al-quran dari masa kemasa. Dan diantara kekhususan al-quran adalah terjaganya sanad hingga zaman sekarang.
Zaid bin tsabit mengatakan :” al-qiro’ah sunnah (jalan)  muttaba’ah (yang diikuti) orang-orang yang kemudian (kholaf) bertalaqi kepada orang terdahulu (salaf)”.
Orang yang belum pernah berguru kepada guru dengan kriteria yang saya sebutkan diatas maka akan terjadi kemungkinan inzilaq (terpeleset) sehingga bacaan kurang valid . itu disebabkan karena ada beberapa kata dan dan istilah dalam al-qur’an yang pengucapannya harus melalui guru . seperti, isymam, imalah, saktah,tashiil dll.
Sungguh para sahabat sangat perhatian terhadap  bacaan ayat alqur’an dan  menyesuaikannya dengan bacaan nabi saw  walaupun kesalahan yang mereka lakukan tidak merubah makna, sebagaimana Ibnu mas’ud yang mengingkari bacaan seseorang yang membaca ayat 60 dari surat altaubah
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ
Dengan tanpa memanjangkan lafadz fuqoro’ dengan panjang yang semestinya. Beliau menegurnya seraya mengatakan : “ Tdak demikian rasulullah membacakannya padaku” kemudian beliau memberi contoh dengan bacaan mad yang benar ( dibaca 4/5 harokat).
Talaqqi yang benar adalah jika dalam talaqqi tersebut memadukan dua hal  Yaitu talaqqi Mantuq (pengucapan lafal ) dan talaqqi maktub ( talaqqi teori-teori yang tertulis pada buku). Tidak cukup bagi guru al-qur’an hanya mengandalkan bacaanya  pada buku-buku tajwid yang ia baca, tetapi harus berguru kepada orang  yang pernah talaqqi. dan tidak benar belajar pada guru tanpa berpedoman pada buku tajwid . guru dan buku panduan adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan satu dengan yang lainnya. Menafikan guru adalah inzilaq ( akan terjadi ketergelinciran dalam tilawah) begitu juga sebaliknya menafikan buku juga inzzilaq.
Semoga kita bias selalu meningkatkan kualitas bacaan kita dan tidak bosan-bosannya untuk tilawah al-qur’an. Seabagai penutup marilah kita camkan perkatan ustman bin Affan RA, “ jika hati-hati kalian suci maka tidah pernah kenyang dengan (tilawah ) kalam Tuhan kalian”.